Pada hakikatnya sebagian dari Anda memiliki resep turun temurun untuk bangun ketika akan santap sahur. Mungkin sebagian dari Anda memiliki tradisi tersendiri untuk bangkit dari alam tidur. Begitulah yang ada di daerah saya. Di kota kecil yang tercinta ini terdapat tradisi Tong-Tong Prek sebagai penggugah bangun sahur kami. Kebudayaan ini sangat lekang di daerah Pekalongan dan Batang.
Di setiap bulan puasa pasti tradisi ini muncul dengan seketika dan tak diduga-duga. Entah mengapa setiap tahunnya anak remaja sebelum awal bulan puasa secara otomatis dan terarah langsung mencari segala bahan untuk merakit pernak-pernik tong tong prek. Seperti baling-baling bambu dan pipa besi. Cari ke alas, pekarangan, kali dan gundukan barang bekas lainnya.
Peralatannya sangat sederhana. Kentongan, sebuah ember cat besar ukuran 50 kg atau bedug kecil, dan pipa besi bukan pipo ledeng. Cara memainkannya mudah! Tinggal digebukin alatnya satu persatu sesuai irama yang ingin dimainkan. Permainan dan iramanya memecah keheningan malam di sudut kampung.
Suara yang sahut-sahutan berlomba-lomba untuk berkoar lebih keras. Apalagi kalau satu kelompok bertemu dengan kelompok lain. Maka terjadilah perang klakson antara kelompok satu dengan yang lain. Memainkan semakin merdu dan penuh semangat. Dan terkadang beberapa warga tergugah hatinya, keluar rumah dan dengan gagah menuju ke medan ketempuran. Bukan untuk menyaksikan dan ikutan tapi ingin memarahi para tong-tong prek holic karena berisik, ”Ayo! Pindah! Pindah!”
Gema itu sudah tidak terdengar lagi beberapa hari belakangan ini. Alasannya beragam. Mulai dari hari membolos sekolah yang sedikit sampai kemajuan tekonologi. Bagaimana pun juga remaja yang memainkan tong tong prek pasti juga memikirkan jam sekolah mereka. Mereka harus menuntut ilmu setinggi mungkin demi mencapai cita-cita terpendam! Walaupun, realitanya mereka berangkat sekolah hanya untuk pindah tidur. Entah jam kosong atau sedang diajar, pokoknya mereka akan memulai produksi iler sebanyak mungkin. Selain itu, dengan semakin berbunganya teknologi membuat warga meninggalkan catatan prasejarah ini. Dengan HP yang diset alarmnya maka setiap warga tidak perlu repot lagi buat bangun sahur. Ditambah lagi banyak yang sudah mudik ke kampung halaman. Membuat suasana kampung semakin mencekam, hening dan sunyi.
Sekarang, seperti ada yang kurang di daun telinga ini. Suara yang menghentak dan menggema ini akan segera hilang. Suara yang mengalun-alun dan mengetuk ini akan tenggelam. Tidak ada lagi suara teriakan yang akan menghiasi malam. Dan pastinya setiap orang akan bangun sahur tepat waktu. Tidak prematur lagi seperti sebelumnya. Tepat jam 3 daan tidak jam 2.
Bagaimana pun juga itulah sinyal kuno warga untuk bangun sahur. Dan tentu saja sinyal modern buat saya memulai blogging karena baru saya blogger yang memanfaatkan tekonologi mutakhir ini. Yang jelas setelah kepergian sinyal itu jadwal posting telah meleset jauh dari jadwal peluncuran. Waktu sahur pun hanya cukup buat makan minum. Dan tidak ada lagi blogging saat sahur. Minimal sampai satu tahun lagi sampai mendekati lebaran tahun depan.
Hmm ... sudah mulai bisa melukiskan suasana mas Ayub. Ini membangkitkan imajinasi yang membacanya. Dan saya sangat terkesan dg kalimat ini:
BalasHapusWalaupun, realitanya mereka berangkat sekolah hanya untuk pindah tidur.
Sebuah sindirian tajam tapi tetap jenaka. Membuat tertawa saya lepas tidak terkendali saat sedang merokok di kamar mandi. Kebetulan saya membacanya lewat nexian....
hemmm...ea Pak...tapi itu memang realita...apalagi puasa...saya juga seperti itu...murid lebih bersemangan ketika pulang sekolah sedangkan malas dan enggan hati ketika berangkat sekolah...hehe...
BalasHapus*situasi belum aman ea Pak...benar saja daritadi mau blogwalking kemana-mana bingung tidak ada yang update padahal saya lagi nganggur...hehe...